Senin, 07 Juli 2008

nilai estetika dalam dunia pendidikan

Membangun Karakter dan Watak Bangsa
Melalui Pendidikan Mutlak Diperlukan

Oleh: Drs. Bambang Nurokhim

Apabila kita simak bersama, bahwa dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan pengertian itu yang lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Memang idealnya demikian. Namun apa yang terjadi di era sekarang? Banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita yang kurang sopan, bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada orang tua, baik guru maupun sesama. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa "watak" dengan "watuk" (batuk) sangat tipis perbedaannya. Apabila "watak" bisa terjadi karena sudah dari sononya atau bisa juga karena faktor bawaan yang sulit untuk diubah, namun apabila "watak" = batuk, mudah disembuhkan dengan minum obat batuk. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas adanya perkembangan atau laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang mengglobal, bahkan sudah tidak mengenal batas-batas negara hingga mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan manusia.

Makna Pendidikan

Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.

Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

Perkembangan Pendidikan

Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada massa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan saksama. Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini, sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas bagaimana perkembangan sekarang? Sangat ironis, memang. Banyak para pemuda kita yang tidak memiliki jiwa besar, bahkan sangat mengkhawatirkan, janganjangan terhadap lagu kebangsaan kita pun sudah tidak hafal, jangankan menghayati. Namun, kita sangat yakin dan semakin sadar, bahwa hanya melalui dunia pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer terhadap kualitas sumber daya manusia.

Krisis moneter yang berlanjut dalam krisis ekonomi yang terjadi hingga puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998 yang lalu, telah mendorong reformasi bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi saja, melainkan juga terimbas dalam dunia pendidikan juga. Reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan atau secara komprehensif integral. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral.



Reformasi Pendidikan

Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi "pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.

Banyak kalangan masyarakat yang mempunyai pandangan terhadap istilah "kelatahan sosial" yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini memang terjadi dengan berbagai peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang mendahulukan hak daripada kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini menyebabkan orang frustasi dan cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau amuk sosial".

Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.

Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated). Di samping itu, peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan warga negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility) kemampuan, keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan karakter paling pokok dari suatu masyarakat madani Indonesia. Jangan sampai yang terjadi malah kekerasan yang meregenerasi seperti halnya yang terjadi di IPDN yang menjadi sorotan akhir-akhir ini (Kompas 16/4), Kekerasan fisik yang mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut, sangat jelas terkait pula dengan masih bertahannya "kekerasan struktural" (structural violence) pada tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati secara hakiki tidak atau belum berhasil diwujudkan.



Pendidikan Karakter

Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingklingan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh. Semoga ke depan bangsa kita lebih beradab, maju, sejahtera kini, esok dan selamanya. Seiring dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Tahun 2007 yang lalu dan mereka yang lahir pada tanggal yang sama, semoga panjang umur dan berjiwa pendidik yang patut disuri tau-ladani generasi yang akan datang, bahkan lestari selamanya. Amin. ©

posted @ Wednesday, September 05, 2007 5:51 PM by cakrawala

PENGENALAN NILAI BUDAYA, TATA KRAMA DAN ETIKA KEILMUAN

PENGENALAN NILAI BUDAYA, TATA KRAMA DAN ETIKA KEILMUAN

(disampaikan pada kegiatan orientasi pengenalan pendidikan (OPDIK)
mahasiswa baru fasilkom unsri tahun akademik 2007-2008)
Tujuan
Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman mahasiswa akan:
a. kebudayaan, nilai dan etika
b. kebudayaan kampus perguruan tinggi dan etika keilmuan
c. aturan-aturan yang berlaku di perguruan tinggi yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban mahasiwa.
Dari republika online dikutip dua penyataan penting8):
Menurut Penemu ESQ, Ary ginanjar, ”mahasiswa memiliki posisi dan peran strategis.
Jika ingin mengubah bangsa ini, maka, Kita harus mengubah mahasiswa terlebih dulu.
Karena mereka adalah agen perubahan”.
Pernyataan ini didukung oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Prof
Mohammad Nuh. ”......karena perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formal
terakhir yang harus ditempuh sebelum terjun ke masyarakat. Kalau perguruan tinggi
keliru dalam mendidik mahasiwa, maka akan kelirulah masyarakatnya”.
Kebudayaan lokal dan global, nilai dan etika
Pengamat pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad mengungkapkan kepada Kompas di
Jakarta, Senin (18/9).filosofi pendidikannya sudah jelas bahwa pendidikan itu harus
mampu membangun peradaban yang dapat memanusiakan manusia2).
Landasan filosofi pendidikan adalah undang-undang, GBHN, dan Pancasila. Oleh
karena itu, pendidikan harus dikembalikan pada kedudukannya sebagai satu usaha
memanusiakan manusia. Selama ini sekolah tidak pernah ditujukan sebagai pusat
penumbuhan budaya. Tidak heran kalau pendidikan kita tidak dapat mengindonesiakan
anak bangsa, sehingga banyak muncul perpecahan yang merupakan akibat dari
kegagalan pendidikan di Indonesia2).
Apa yang menjadi hakikat pendidikan? Hakikat pendidikan dalam konteks Indonesia,
bahwa pendidikan itu harus merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan
yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa. Itu sudah runtuh, padahal sebelumnya
dikatakan landasan pendidikan dan budaya kita sudah kuat. Tetapi ternyata ketika
krisis kita baru tahu bahwa itu ambruk. Inilah realitas baru yang seharusnya menjadi
landasan membangun peradaban2).
Penguasaan bahasa dapat menunjukkan tingkat peradaban dan tingkat budaya
manusia. Mendiknas Yahya A Muhaimin pada Seminar Nasional X Himpunan Pembina
Bahasa Indonesia (HPBI), di Jakarta, Rabu (27/9) mengatakan ”Kalau bahasa yang
dipakai amburadul dan kasar”, demikian Mendiknas, ”orang lain dapat menganggap si
penuturnya sebagai orang yang tidak tahu unggah-ungguh (tata krama)”. "Labelisasi
seperti ini merupakan sanksi sosial yang berat, terutama dalam masyarakat Jawa,"
tambahnya3).
Selanjutnya Menurut Mendiknas, peran bahasa yang paling penting adalah sebagai alat
komunikasi. Dengan bahasa manusia akan mendapat kemudahan dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Penguasaan bahasa yang baik akan membantu dalam
mengungkapkan pikiran, sehingga maksudnya dapat dipahami3).
Etika merupakan dasar kemanusiaan - petunjuk dasar bagi tingkah laku, cara pikir dan
keyakinan. Tidak satu kelompok manusia pun yang hidup tanpa etika6).
Sesuatu hal dalam etika yang tidak kalah pentingnya dalam dunia perguruan tinggi
adalah etika berbusana. Kita sepakat bahwa mahasiswa adalah manusia dewasa sejak
dia menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, oleh karena itu mereka tidak lagi dipanggil
anak atau siswa tapi dipanggil dengan sapaan saudara atau maha-siswa. Dengan
demikian mereka sudah dianggap manusia dewasa. Tapi apakah orang dewasa itu
punya kebebasan sebebas-bebasnya, jawabnya adalah tidak, tetapi mereka punya
kebebasan yang dilembagakan. Sebagai contoh kebebasan dalam bebusana, sekalipun
2
bebas menentukan busana dan berpenampilan sendiri tetapi jangan melanggar etika
yang berlaku di masyarakat umum. Etika berbusana terdiri dari 8 hal yaitu5):
1. Mempergunakan busana yang tidak melanggar aturan, norma, kepatutan dalam
lingkungan dimana kita berada. (di kampus jangan mempergunakan pakaian
yang terbuka/terlihat aurat atau anggota tubuh yang seharusnya ditutupi).
2. Bisa mengikuti mode, tapi tetap harus sesuai acara, sesuai waktu, sesuai
tempat
3. Hindari menggunakan pakaian yang terlalu mencolok atau menarik perhatian
orang, terutama di tempat umum (misl, di kampus)
4. Hindari busana yang membuat anda sulit bergerak/melangkah
5. Hindari aksesoris yang menimbulkan bunyi-bunyi waktu anda bergerak
6. Hindari aksesoris yang menimbulkan bunyi-bunyi dan yang mudah tersangkut,
karena anda akan hilir mudik dipanggung dan belakang panggung serta
berdekatan dan bergesekan dengan orang lain.
7. Hindari sepatu yang tidak nyaman dan bersuara keras waktu melangkah
8. Pastikan busana anda sudah rapih, jangan membetulkan/ merapihkan
sembarangan.
Kultur perguruan tinggi dan etika keilmuan
Misi perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat yang dikenal dengan tridarma perguruan tinggi. Ketiga hal ini harus
dijalankan secara seimbang. Pertanyaannya, pedulikah kita untuk menciptakan kultur
akademik yang kondusif? Jika jawabannya “iya”, maka cerdaskanlah mahasiswa sejak
masa Orientasi Pengenalan Kampus setiap tahunnya.
Mahasiswa sedikit sekali memiliki budaya akademis, seperti kemampuan menulis.
Kebanyakan mereka justru meniru (baca: menyontek) makalah-makalah atau skripsi
orang dengan metode CS2 (Comot Sana-Comot Sini). Persoalan integritas akademik
(academic integrity) maupun kejujuran ilmiah (academic honesty) seakan bukan
merupakan konsideran penting. Sebagian mereka bahkan (mungkin) tidak memahami
betapa pentingnya kedua nilai tersebut Akibatnya jarang dijumpai paper-paper yang
orisinal dan berkualitas1).
....., seandainya sejak awal-awal masa mengarungi dunia perguruan tinggi mereka
sudah diperkenalkan atau diberikan pemantapan (karena sangat bisa jadi ada yang
sudah dikenalkan saat SLTA) dalam pemahaman metode penulisan karya ilmiah dan
metode penelitian dasar, bukan tidak mungkin akan lahir karya-karya ilmiah yang
berbobot dan layak jual (marketable). Lebih dari itu, mereka juga akan terbiasa untuk
meneliti, walaupun dalam artian penelitian yang sederhana1). Semua hal ini sangat
konstruktif untuk membangun budaya akademik yang kondusif di perguruan tinggi.
Sebelum menguraikan lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa itu sains dan etika.
Definisi dari sains diambil dari Oxford English Dictionary: “A branch of study which is
concerned with a connected body of demonstrated truths, orwith observed facts
systematically classified and more or less colligated by being brought under general
laws, and which includes trustworthy methods for the discovery of new truth within its
own domain”. Apa itu etika? Webster’s New Collegiate Dictionary mendefinikannya
sebagai berikut: “1 …the discipline dealing with what is good and bad and with moral
duty and obligation 2 a: a set of moral principles and values b: a theory or system of
moralvalues c: the principles of conduct governing an individual or a group.”7)
Dari definisi-definisi di atas kelihatan dengan jelas bahwa sains adalah alat untuk
mencari kebenaran. Dan dapat disadari untuk mencari kebenaran kita perlu strategi
yang beretika. Strategi disini adalah metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi
pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik
(scientific fraud)7).
Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi
fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Bagaimanapun,
definisi penipuan saintifik tidak selalu jelas. Salah satu aspek dari penipuan saintifik
adalah memanipulasi dan mengubah data. Pada tahun 1830, matematikawan dari
Inggris bernama Charles Babbage menerangkan teknik manipulasi data. Di dalamnya
termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan)
diharapkan)
3
dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga
membuat data lebih meyakinkan). Sains yang ideal adalah bahwa para ilmuwan
seharusnya objektif dan melaporkan semua hasil pengamatan secara lengkap dan
jujur. Bagaimanapun, ini tidak selalu ditemui dalam laporan-laporan ilmiah7).
Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain
dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah
dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Sebagai gambaran umum, di dalam
perkuliahan etika sains disamping diterangkan pentingnya etika sains juga diajarkan
bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika
etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka kita dapat menjawab
pertanyaan: Apakah aspek etika sains dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin,
bertanggung jawab dan sportif7).
Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki
dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang
berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya.
Bagaimanapun, mentalitas yang jujur mutlak diperlukan sebagai landasan untuk
mencapai kemajuan. Pengajaran etika sains kepada para mahasiswa sarjana, magister
dan doktor diharapkan dapat menambah kesadaran para mahasiswa bahwa para calon
sarjana, calon doktor dan calon professor harus menjunjung tinggi
kejujuran. Setidaknya hal ini dapat menjadi sumbangan kecil untuk perbaikan
masyarakat kita, yang sedang dihinggapi penyakit korupsi, plagiat, membeli gelar,
menyontek dan lain sebagainya. Inilah tugas berat para ilmuwan-ilmuwan Indonesia
yang menyadari pentingnya etika sains dalam pendidikan sains dan riset di
Indonesia7).
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah
menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan
dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh
manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala
sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran
manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali
kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau
komputer. Contoh aktual tentang hal ini adalah saat pelaksanaan UAN. Nilai yang
dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penentu dari lulus tidaknya
seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir
dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun
terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan,
dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan
siswa yang sama sekali tak dikenalnya4). Berbeda dengan di perguruan tinggi dimana
penentuan kelulusan suatu mata kuliah ditentukan dari 4 parameter penilaian yaitu:
tugas, quis, ujian tengah semster, dan ujian akhir semester. Sedangkan untuk
penentu kelulusan mahasiswa memperoleh gelar sarjana yaitu ujian komprehensif atau
sidang sarjana yang diuji oleh tim penguji yang terdiri dari dua atau lebih dosen
penguji. Dimana pembimbing tugas akhir juga memiliki kontribusi dalam menentukan
nilai rata-rata hasil ujian tugas akhir tersebut. Hal inilah yang membedakan ilklim di
perguruan tinggi dan sekolah.
Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah
masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat
untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa
yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu
pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul
tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh
karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam
berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan4).
Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan
yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi,
meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan
keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu
juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada
tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan
massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus. Dunia pendidikan adalah dunianya
4
masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia
pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan
perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan
amoral4).
Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena
itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak
dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri
penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai
indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah
"musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi
kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita
harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya
untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga
dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak
diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita
balas dengan kinerja yang lebih baik4).
Aspek pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran saja kepada mahasiswa tetapi
juga harus mencakup pembentukan sikap dan kepribadian, yang mana hal ini penting
dalam menghadapi krisis moral bangsa Indonesia.
Hadi Nur, dalam tulisannya yang berjudul etika sains dalam riset dan pendidikan tinggi
di Indonesia mengungkapkan:
”........ Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa riset dan
mengajar merupakan hal yang bersifat perkalian bukan pertambahan, salah satu
sifat utama yang melekat kepada seseorang yang digelari ilmuwan. Ini berarti
bahwa seseorang akan nol sebagai ilmuwan jika tidak melakukan riset. Dan juga
berarti akan nol sebagai ilmuwan jika tidak mengajar.”7)
Suatu pemikiran baru dalam ilmu pengetahuan yaitu eko-etika. Dasar-dasar etika kita
yang baru, berakar pada dasardasar kepentingan dinamika ekologis bagi kehidupan di
bumi, sehingga disebut eko-etika. Eko-etika berbeda dengan etika sejarah. Akar ekoetika
bukanlah wahyu, keyakinan ataupun filosofi, melainkan penelitian ilmiah,
pengetahuan dan keserasian antara alam dan manusia. Subyek eko-etika bukanlah
satu spesies tetapi berbagai komunitas yang keberadaannya saling tergantung.
Wawasan kita yang selalu bertambah, menguak jalan menuju ke kehidupan manusia
masa depan6).
Masyarakat eko-etika bertujuan membangun suatu kondisi yang diibaratkan
membangun lingkungan masyarakat seperti membangun sebuah rumaha. Suatu
rumah yang berlandaskan cinta pada alam, menghargai alam, dan menambah
pengetahuan tentang pola dan pengaturan alam yang sebenarnya6).
Pada dasarnya manusia yang menganut etika tradisional tidak mau menerima
perubahan, mereka tetap mempertahankan aturan atau etika yang telah berlaku turun
temurun di masyarakatnya. Sedangkan manusia yang menganut eko-etika, mereka
akan menerima aturan baru yang berlaku secara dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman dan dilandasi keseimbangan dan ilmu pengetahuan. Perubahan
ini seperti air yang mengalir, yaitu tidak statis.
Aturan-aturan di perguruan tinggi dan hak serta kewajiban mahasiswa
para mahasiswa/i baru itu juga harus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan
akademik, misalnya sistem perkuliahan, cara menulis makalah (paper), pengenalan
metodologi penelitian dasar, sistem hubungan mahasiswa dengan penasehat akademik
dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka semestinya juga diberikan pengetahuan
mengenai hak-hak dan kewajiban mereka selaku mahasiswa. Sehingga mereka
mengetahui apa-apa saja aturan main yang digariskan perguruan tinggi pilihannya.
Kalaupun hak mereka dilanggar, mereka mengetahui bagaimana cara menuntutnya1).

Selasa, 01 Juli 2008

nilai-nilai dalam bidang pendidikan

PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN JIWA, SEMANGAT, DAN NILAI-NILAI 45
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada Mubes X Angkatan 45
Jakarta, 11 Desember 1996
Pengantar
Pertama -tama saya ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan
kepada saya untuk berbicara di muka Musyawarah Besar Nasional (Mubenas) X Angkatan 45.
Sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya memperoleh undangan ini.
Bagi kami, generasi yang lebih muda , atau generasi penerus, Angkatan 45 mempunyai
tempat yang sangat tinggi dalam hati sanubari, bukan saja karena Angkatan 45 adalah orang tua
kami, tetapi orang tua yang sangat kami banggakan. Angkatan 45 telah memperjuangkan,
melahirkan, menegakkan serta mempertahankan kemerdekaan bangsa sehingga kami dapat berdiri
sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Angkatan 45 telah merumuskan nilai-nilai luhur
yang menjiwai kehidupan bangsa ke dalam sebuah falsafah yang kita namakan Pancasila yang
menjadi dasar, tujuan, dan pedoman dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam
kita membangun bangsa ini. Angkatan 45, telah meletakkan gagasan-gagasan dasar dan aturanaturan
dasar sistem pemerintahan negara dalam Undang-undang Dasar (UUD) 45. Bahkan lebih
jauh lagi dari itu, Angkatan 45 telah memelopori dan mengawal pembangunan bangsa selama lima
puluh tahun terakhir ini.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini perkenankan saya, sebagai eksponen generasi
penerus menyampaikan ungkapan terima kasih, dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada
Ibu dan Bapak, yang pada forum ini mewakili Angkatan 45. Semoga Allah SWT memberikan
imbalan yang setinggi-tingginya bagi pengabdian dan pengorbanan seluruh Angkatan 45 bagi
perjuangan bangsa.
Selanjutnya, sesuai dengan permintaan, saya akan menyampaikan uraian mengenai
wawasan tentang pembangunan nasional, bukan sebagai ceramah, tetapi dengan maksud untuk
memperoleh tanggapan, masukan, dan arahan-arahan yang dapat kami bawa sebagai bekal
melanjutkan perjuangan yang telah dimulai oleh Ibu dan Bapak sekalian, yaitu perjuangan mengisi
kemerdekaan.
Dalam proses merumuskan wawasan tersebut, kami berusaha menggalinya dari
pandangan, jiwa, dan semangat nilai-nilai Angkatan 45. Upaya mencari dan memahami makna,
semangat, dan jiwa nilai-nilai 1945, sesungguhnya telah kita lakukan setiap kali bangsa Indonesia
merumuskan GBHN, yaitu pokok-pokok pikiran mengenai pembangunan dalam periode lima tahun
berikutnya. Saya, yang mendapat tugas menyusun perencanaan pembangunan, tidak dapat tidak
harus melandaskan segala pikiran mengenai masa depan pada amanat rakyat dalam GBHN
tersebut, dengan berusaha mengenali kondisi lingkungan yang, kita ketahui, sangat dinamis.
www.ginandjar.com 2
Saya ingin memulai dengan posisi tempat kita berada sekarang, yang tidak lain merupakan
hasil pembangunan di masa lalu secara sangat singkat saja karena saya yakin sudah menjadi
pengetahuan Ibu dan Bapak yang hadir di sini.
Taraf Pembangunan Dewasa Ini
Dalam meninggalkan abad ke -20 dan memasuki abad ke-21, kita bersyukur telah memiliki
landasan yang cukup kukuh, bukan hanya di bidang ekonomi, melainkan juga di semua bidang
lainnya.
Ekonomi bangsa Indonesia sekarang telah termasuk kelompok pendapatan menengah,
dengan pendapatan per kapita melampaui $1.000. Angka ini empat belas kali lebih besar
dibandingkan dengan awal Orde Baru, pada waktu mana Indonesia termasuk negara termiskin di
dunia. Dalam nilai riilnya, peningkatan itu adalah tiga kali lipat. Hal itu dimungkinkan karena
pertumbuhan ekonomi kita sejak awal Orde Baru sampai sekarang berkembang rata -rata hampir 7
persen setahun. Pembangunan tidak hanya menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan.
Secara nyata hal itu dapat diukur dari jumlah penduduk miskin yang 25 tahun yang lalu berjumlah
70 juta atau 60 persen dari jumlah penduduk, dan sekarang menjadi di bawah 14 persen atau
sekitar 25 juta. Pembangunan pertanian, yang telah menghasilkan swasembada pangan, besar
perannya dalam menopang pertumbuhan dan mendorong pemerataan.
Pembangunan juga telah berlangsung di seluruh tanah air, tidak ada penjuru tanah air yang
tidak tersentuh oleh jangkauan tangan pembangunan, betapapun kecilnya. Salah satunya adalah
kesempatan mengikuti pendidikan dan memperoleh pelayanan kesehatan. Pendidikan dasar 6
tahun yang dimulai tahun 1984, telah dapat diselesaikan sebelum PJP I berakhir, dan sekarang kita
sedang melanjutkan dengan pendidikan dasar 9 tahun. Kecuali di pelosok-pelosok yang sangat
sulit terjangkau, praktis tidak ada penduduk Indonesia yang tidak mempe roleh pelayanan
kesehatan. Sebagai hasilnya adalah tercapainya taraf kecerdasan yang lebih tinggi, serta keadaan
gizi dan derajat kesehatan yang lebih baik, sehingga usia harapan hidup meningkat dari 45,7 tahun
menjadi 63,5 tahun dewasa ini.
Pertumbuhan dan pemerataan, hanya dimungkinkan oleh terciptanya stabilitas yang
senantiasa dapat kita pertahankan secara sehat dan dinamis. Oleh karena itu, konsep
pembangunan kita bersandar pada pendekatan Trilogi Pembangunan.
Stabilitas nasional dapat diciptakan bukan semata-mata oleh kekuasaan, tetapi oleh
keberhasilan kita mengembangkan kehidupan yang konstitusional, demokratis, dan berdasarkan
hukum, di atas landasan UUD 1945. Mekanisme dan lembaga -lembaga politik telah berperan,
didukung oleh partisipasi masyarakat dalam proses politik yang makin luas. Dalam lima kali pemilu
yang telah kita adakan dalam masa Orde Baru, 90 persen rakyat yang berhak memilih telah
menjalankan hak pilihnya. Dibandingkan dengan negara mana pun di dunia, ini merupakan prestasi
yang tinggi.
Saya tidak akan memperpanjang lagi uraian mengenai hasil-hasil pembangunan itu. Saya
rasa cukup beberapa hal pokok saja yang saya sampaikan untuk menggambarkan posisi tempat
kita berada, dan yang merupakan modal bagi kita dalam pembangunan selanjutnya.
www.ginandjar.com 3
Wawasan Pembangunan Masa Depan
Dengan modal hasil pembangunan selama ini, dan dengan pengalaman pembangunan di
masa lalu yang memberi kita pela jaran-pelajaran yang amat berharga, kita menyusun rencana
masa depan. Dalam merancang masa depan, kita tidak bisa lepas dari masa kini dan masa lalu
kita. Meskipun dunia cepat berubah, dan perubahannya pun sangat mendasar, kita tidak boleh lalu
meniadakan ikatan dengan masa lampau. Sebaliknya masa lalu adalah warisan sejarah (heritage)
yang nilai-nilai luhurnya harus dilestarikan atau dijadikan landasan moral pembangunan masa
depan. Warisan luhur itu adalah jiwa, semangat, dan nilai-nilai 45. Betapa pun kuatnya perubahan
dunia, karena perkembangan teknologi dan peradaban manusia, saya berkeyakinan nilai-nilai luhur
itu akan tetap terang sinarnya, tidak pernah akan usang, tidak lekang karena panas dan tidak lapuk
karena hujan.
Nilai-nilai luhur itu, dikandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan
Pancasila sebagai pokoknya. Oleh karena itu, kita menyatakan pembangunan kita adalah
pengamalan Pancasila.
Upaya untuk membangun sesuai dengan amanat perjuangan itulah yang kita coba
rumuskan pada waktu menyusun GBHN 1993. Kita menyadari bahwa membangun masyarakat
Pancasila tidak bisa selesai dalam satu atau dua PJP, tetapi akan merupakan proses panjang yang
terus berlanjut, bahkan mungkin tidak pernah akan ada hentinya. Yang penting adalah setiap kali,
setiap tahap, harus makin mendekatkan kita pada cita -cita itu, dan bukan malah makin
menjauhkannya.
Oleh karena itu, maka dalam PJP II sasaran yang ditetapkan adalah untuk membangun
kemandirian, kemajuan, dan kesejahteraan yang berkeadilan dalam kehidupan yang serba
berkeseimbangan. Di belakang konsep-konsep kemandirian, kema juan, kesejahteraan yang
berkeadilan itu terkandung jiwa, semangat dan nilai-nilai 45. Setiap upaya pembangunan kita, setiap
tahap yang kita selesaikan, harus dapat mencerminkan dan dapat diukur sebagai peningkatan
kemandirian, kemajuan, dan kesejahteraan yang berkeadilan.
Untuk tahapan PJP II, sasaran itu ingin dicapai dengan meletakkan titik berat
pembangunan pada bidang ekonomi seiring dengan kualitas sumber daya manusia. Dalam PJP I
titik berat pembangunan nasional diletakkan hanya pada bidang ekonomi. Saya tidak heran apabila
pada periode berikutnya, titik berat pembangunan terutama adalah pada kualitas sumber daya
manusia. Pergeseran paradigma itu menunjukkan perkembangan kemajuan pembangunan kita.
Atas dasar pokok-pokok pikiran itulah kita menyusun masa depan kita. Kita telah memiliki
visi itu dan secara sungguh-sungguh ingin kita usahakan untuk mewujudkannya. Secara ringkas
saja, ingin saya uraikan di sini gambaran masa depan yang kita ingin wujudkan, yaitu akhir PJP II
sekitar tahun 2020.
Seperti dikemukakan di atas, ekonomi masih tetap menjadi titik berat pembangunan seiring
dengan kualitas sumber daya manusia.
Maka dalam PJP II, pertumbuhan ekonomi diupayakan cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas
7 persen per tahun. Kualitas sumber daya manusia diupaya kan untuk ditingkatkan, antara lain
dengan mengurangi laju pertumbuhan penduduk, yang kita harapkan akan menjadi di bawah 0,9
persen per tahun menjelang akhir PJP II. Jika kedua sasaran tersebut dapat dicapai maka
pendapatan per kapita Indonesia akan meningkat empat kali menjadi sekitar US$ 3.800
(berdasarkan nilai US$ 1993). Pada saat itu ekonomi Indonesia telah menjadi salah satu ekonomi
yang besar di dunia, dengan ukuran purchasing power parity (PPP) sekitar US$ 2,0 triliun. Pada
saat itu Indonesia suda h menjadi negara industri. Jauh sebelum itu pada akhir Repelita VII
www.ginandjar.com 4
ekonomi Indonesia telah dapat digolongkan ke dalam negara industri baru, dengan pendapatan per
kapita sekitar US$ 2.000.
Sektor industri akan merupakan penggerak utama perekonomian. Sektor industri juga
makin diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja, secara bertahap menggantikan peran sektor
pertanian.
Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan cukup tinggi tersebut, diupayakan makin
bersumber pada sumber daya manusia, yaitu didasari oleh peningkatan produktivitas dan efisiensi,
di samping pemanfaatan pertumbuhan tenaga kerja dan modal. Peningkatan produktivitas dan
efisiensi tercermin antara lain pada peningkatan keterampilan, profesionalitas, kreativitas,
kemampuan teknologi, dan kemampua n manajemen, serta kepimpinan yang efektif dan tepat, di
samping penyempurnaan dan pembaharuan kelembagaan.
Unsur yang teramat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia ini adalah
pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.
Di bidang pendidikan, program yang utama adalah Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun yang dimulai sejak awal Repelita VI dan diharapkan sudah tuntas pada akhir
Repelita VII, selambat- lambatnya pada Repelita VIII. Pada waktu itu, pendidikan terendah
penduduk Indonesia rata-rata sekolah lanjutan pertama (SLTP). Dengan demikian, pada akhir PJP
II, seluruh angkatan kerja sudah berpendidikan sekurang-kurangnya 9 tahun (setingkat SLTP) dan
sebagian besar sudah berpendidikan sekurang-kurangnya 12 tahun (setingkat SLTA). Angkatan
kerja sarjana akan makin banyak. Mutu pendidikan juga terus meningkat, dan pendidikan sudah
mengarah dan tanggap terhadap kebutuhan dunia usaha setempat. Maka sebagai hasilnya, tingkat
keterampilan sudah makin tinggi sehingga produktivitas tenaga kerja tidak akan berbeda jauh dari
negara-negara yang pada saat ini termasuk kelompok industri baru.
Sasaran di bidang kesehatan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi
masyarakat sehingga dapat menaikkan usia harapan hidup menjadi 70,6 tahun pada akhir PJP II.
Seiring dengan proses transformasi industri, dan dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia seperti tersebut di atas, struktur tenaga kerja akan berubah cepat, yaitu dari tenaga kerja
sektor pertanian ke sektor industri dan sektor jasa. Pada akhir Repelita VII tenaga kerja yang
bekerja pada sektor pertanian akan turun dari 43,4 persen pada tahun 1995, menjadi sekitar 39
persen. Sedangkan pada akhir PJP II, tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian
diharapkan hanya tinggal sekitar 27 - 28 persen. Hal ini dimungkinkan dengan meningkatnya
kemampuan tenaga kerja baik secara profesional maupun kualifikasi teknisnya. Proses ini akan
mendorong terbentuknya kelas menengah yang makin kuat dan akan menjadi tulang punggung
perekonomian yang handal. Partisipasi masyarakat dalam bidang ekonomi akan makin besar,
sehingga peran pemerintah makin tut wuri handayani.
Proses kemajuan tersebut akan mendorong kemandirian. Di bidang ekonomi, kita akan
makin mengandalkan perole han devisa dan kesehatan neraca pembayaran dari perdagangan dan
tidak lagi dari pinjaman luar negeri. Namun, itu tidak berarti bahwa tidak akan ada pinjaman.
Pinjam-meminjam adalah praktek yang wajar dalam dunia bisnis. Selama manfaat dari pinjaman
luar negeri lebih besar daripada “biaya”nya, dan selama tidak dikaitkan dengan persyaratan
“nonekonomi”, maka kita dapat tetap memanfaatkannya. Namun, pinjaman tidak lagi merupakan
faktor yang menentukan kesehatan perekonomian Indonesia.
Pembangunan nasional tidak saja mengejar pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tetapi
lebih luas lagi, adalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta stabilitas yang mantap
dan dinamis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan bermakna kalau disertai peningkatan
www.ginandjar.com 5
nyata dalam kesejahteraan rakyat yang makin adil dan merata.
Masalah kemiskinan absolut diharapkan sebagian besar sudah teratasi pada akhir Repelita
VII dan sisanya yang terdapat di kantung-kantung kemiskinan harus diupayakan berakhir tuntas
sebelum PJP II berakhir. Dengan demikian, upaya pemerataan pembangunan akan merupakan
pekerjaan besar dalam PJP II.
Kesenjangan pembangunan antardaerah secara sistematis dan konsisten akan terus
dikurangi. Meskipun dalam 25 tahun mendatang kesenjangan ini belum dapa t dihilangkan sama
sekali, yang dapat diupayakan adalah mencegah agar jurang kesenjangan tidak makin melebar.
Sehubungan dengan itu, kawasan terbelakang akan memperoleh perhatian khusus agar dapat
melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan dan dapat turut maju sebagaimana kawasan
lainnya yang telah lebih dahulu berkembang.
Kualitas demokrasi pada akhir PJP II akan makin meningkat sebagai hasil dari
peningkatan kualitas lembaga-lembaga sosial politik dan pelakunya. Kehidupan yang makin
transparan diharapkan tidak saja terlihat dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam kehidupan
masyarakat pada umumnya, termasuk di bidang politik. Hukum sudah makin berfungsi sebagai
dasar kehidupan negara, seperti diamanatkan oleh konstitusi.
Agenda Pembangunan
Untuk mencapai sasaran pembangunan dan wujud masa depan bangsa Indonesia dalam
PJP II seperti pokok-pokoknya diuraikan di atas bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak
tantangan pembangunan harus dihadapi bangsa Indonesia. Tantangan- tantangan tersebut dapat
berasal dari luar atau dari dalam, dan dapat bersumber dari faktor ekonomi, sosial, budaya, dan
politik.
Tidak lama lagi, Indonesia akan memasuki abad ke-21 saat globalisasi dan proses
perubahan akan berlangsung sangat cepat. Dalam era tersebut persaingan dunia akan menjadi
makin ketat sehingga peningkatan daya saing merupakan suatu keharusan.
Persiapan sejak dini perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Segala modal yang telah
dimiliki harus diperhitungkan, sedangkan tantangan, peluang, dan kendala harus dapat diidentifikasi
secara cermat dan terperinci sehingga strategi serta langkah-langkah kebijaksanaan yang harus
dilakukan akan dapat dirumuskan sebaik- baiknya.
Tantangan yang pertama adalah di bidang ekonomi sehubungan dengan proses globalisasi.
Kurun waktu Repelita VII akan bersamaan dengan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas
ASEAN (AFTA) pada tahun 2003. Pada tahun 2020, dua tahun setelah berakhirnya PJP II,
Kawasan Bebas Perdagangan Asia Pasifik juga akan berlaku.
Ekonomi Indonesia akan makin terintegrasi ke dalam ekonomi ASEAN dan Asia Pasifik
dalam jangka panjang. Dengan ditiadakannya perlindungan oleh setiap negara, persaingan dalam
kawasan ini akan makin keras. Dengan demikian, upaya meme lihara dan meningkatkan
daya saing harus merupakan agenda pembangunan yang pertama. Untuk itu efisiensi
ekonomi dan produktivitas tenaga kerja perlu ditingkatkan. Terlebih lagi karena persaingan yang
akan terjadi terutama adalah antarunit produksi dan tidak lagi antarnegara.
Untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, perlu dilanjutkan upaya deregulasi
dan debirokratisasi dalam rangka penyempurnaan lemba ga-lembaga ekonomi kita. Dalam kaitan
ini, prosedur yang bertele -tele dan pungutan-pungutan yang tidak mempunyai dasar jelas dan akan
meningkatkan biaya ekonomi harus ditiadakan.
www.ginandjar.com 6
Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Pada
saat ini kualitas sumber daya manusia yang kita miliki masih berada di bawah negara-negara
tetangga yang telah lebih dulu maju. Dengan demikian upaya mengejar ketertinggalan dalam
pengembangan sumber daya manusia merupakan agenda pembangunan kedua. Di
dalamnya termasuk upaya untuk mengatasi masalah pengangguran dan lapangan kerja. Masalah
pengangguran dan masalah penyediaan lapangan kerja tetap akan dihadapi dalam kurun waktu
pembangunan yang akan datang dengan permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
repelita-repelita sebelumnya. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia memang sudah menurun,
tetapi karena penduduknya besar, maka secara absolut tambahan penduduk setiap tahunnya masih
besar dan ini akan berpengaruh terhadap jumlah angkatan kerja. Dengan tarap pendidikan
penduduk dan angkatan kerja yang terus meningkat, maka akan meningkat pula pengangguran bagi
angkatan kerja yang berpendidikan, baik SLTA maupun perguruan tinggi.
Selain itu, transformasi ekonomi akan mengakibatkan terja dinya pergeseran angkatan kerja
dari sektor yang mempunyai upah yang rendah ke sektor yang mempunyai upah yang lebih tinggi.
Salah satu akibatnya adalah terjadinya urbanisasi dari angkatan kerja yang ada di perdesaan ke
kota-kota besar. Ini berarti bahwa akan ada tantangan bagi penataan wilayah perkotaan, baik
secara fisik maupun secara ekonomi dan sosial. Dalam rangka itu, haruslah dicegah terjadinya
kesenjangan yang makin melebar.
Kondisi kesenjangan yang paling buruk adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan
masalah yang menjadi pusat perhatian pembangunan di mana pun juga. Kita mengenal berbagai
bentuk kemiskinan. Salah satu di ataranya adalah kemiskinan absolut, yaitu taraf kehidupan miskin
di bawah suatu garis pendapatan (atau konsumsi) tertentu yang menjadi batas minimum untuk
manusia dapat hidup secara layak. Selain itu ada juga kemiskinan relatif, yakni perbandingan
tingkat pendapatan antara berbagai golongan pendapatan. Perbedaan pendapatan tentu selalu ada
karena adanya perbedaan dalam potensi atau endowments manusia, masyarakat, atau bangsa.
Akan tetapi, apa bila perbedaan tersebut terlalu jauh, maka terjadilah ketimpangan.
Ketimpangan memiliki berbagai wujud. Pertama, ketimpangan antargolongan pendapatan
seperti yang telah disebut di muka. Kedua, ketimpangan antardaerah dan dapat juga
antarkelompok etnis atau agama, seperti kita lihat di negara-negara tertentu. Ketiga, ketimpangan
antarsektor, seperti antara sektor pertanian dan industri atau sektor perkotaan (urban) dan
perdesaan (rural). Keempat, ketimpangan antarjender, yakni antara pria dan wanita. Kelima, yang
sebetulnya dapat dikatakan menjadi penyebab dari berbagai bentuk ketimpangan di atas, adalah
ketimpangan dalam kesempatan. Keenam, ketimpangan antarmasyarakat di dunia maju dan di
dunia berkembang. Hal inilah yang menimbulkan gejala yang disebut keterbelakangan, dan
melahirkan ketergantungan (dependency).
Upaya mengatasi kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan itu harus
menjadi agenda pembangunan yang ketiga. Masalah ini bukan saja menyangkut hati nurani,
tetapi juga dipesankan oleh konstitusi yang amanatnya mengenai keadilan sosial merupakan benang
merah yang sanga t kuat menjalin pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya. Selain
menyangkut aspek-aspek idealisme, mengatasi kesenjangan juga menyangkut aspek kebutuhan
ekonomi, karena kondisi kesenjangan menunjukkan tidak optimumnya sumber daya nasional
termanfaatkan untuk pembangunan, karena kesenjangan menghalangi dimaksimalkannya
produktivitas dan efisiensi perekonomian.
Masalah ini menjadi urgen untuk ditangani, karena dalam memasuki abad ke -21, dunia dan
bangsa Indonesia sudah akan memasuki zaman baru yang ditandai dengan keterbukaan dan perwww.
ginandjar.com 7
saingan yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh golongan ekonomi
lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin melebarnya kesenjangan.
Oleh karena itu, apabila untuk menegakkan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan
menggerakkan kegiatan ekonomi diperlukan deregulasi, maka untuk mengatasi kesenjangan
diperlukan intervensi, yakni melindungi dan memberikan kesempatan bagi yang lemah untuk
tumbuh.
Erat kaitannya dengan masalah kesenjangan adalah masalah kesempatan berusaha. Dunia
usaha akan pertama kali bertarung di pasar bebas. Walaupun disadari bahwa struktur dunia usaha
telah kelihatan makin maju terutama pada usaha-usaha berskala besar, tetapi struktur lapisan
usaha nasional masih belum mantap dan kukuh. Hal ini terutama berkaitan dengan lapisan ekonomi
usaha skala kecil (ekonomi rakyat) yang jumlahnya banyak, tetapi memiliki aset produktif yang
sangat terbatas. Selama ini saja, lapisan usaha skala kecil sudah jauh tertinggal. Apalagi harus
dihadapkan pada persaingan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar. Lapisan ekonomi
menengah juga belum berkembang sebagaimana layaknya, yaitu belum dapat menjadi tulang
punggung ekonomi nasional.
Oleh karena itu, sejalan dengan upaya deregulasi dan terbukanya pasar secara luas, harus
dikembangkan langkah-langkah membangun usaha menengah dan kecil termasuk koperasi
sehingga menjadi kuat. Dalam rangka itu, kemitraan perlu terus ditingkatkan dan diupayakan agar
menjadi pola dalam kehidupan ekonomi kita. Upaya mewujudkan hal ini merupakan tantangan yang
tidak mudah, tetapi mutlak harus dilakukan.
Dalam menetapkan langkah-langkah untuk menghadapi tantangan di masa depan,
semestinya kita tetap mengacu pada kons titusi dan GBHN sebagai amanat rakyat untuk
memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi kepentingan rakyat.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai ke bijaksanaan yang berpihak pada
kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan sinambung dalam
jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri. Makin kita tumbuh dan berkembang
atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai bangsa. Kemandirian yang
kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain,
bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandekan.
Kemajuan dan kemandirian yang menjadi sasaran pembangunan bangs a Indonesia, selain
merupakan ukuran kemampuan ekonomi adalah juga merupakan sikap budaya. Globalisasi akan
mempengaruhi sistem nilai yang membentuk budaya bangsa. Materi sebagai ukuran keberhasilan
dan sikap individualistis yang hidup di kalangan masyarakat Barat dapat pula merasuk pula ke
dalam budaya kita. Demikian pula nilai-nilai moral yang berbeda dapat menimbulkan
benturan-benturan budaya. Oleh karena itu, upaya memperkuat ketahanan dan membangun
budaya bangsa harus menjadi agenda pembangunan yang pokok pula. Masalah budaya
menduduki tempat yang tidak kalah pentingnya dibanding dengan semua bidang lainnya dalam
seluruh konsep pembangunan bangsa kita, bahkan adalah yang paling mendasar.
Pada saat kita berbicara mengenai ketahanan budaya dan pembangunan budaya,
sebenarnya kita berbicara mengenai pembangunan budaya sosial, budaya ekonomi, budaya
teknologi, dan budaya politik.
Pada waktu kita berbicara mengenai demokrasi, hak asasi manusia, keterbukaan,
penegakan hukum, selain kita berbicara mengenai prosedur dan mekanisme, sesungguhnya kita
harus lebih banyak berbicara mengenai budayanya, mengenai sistem nilainya, mengenai etika, dan
www.ginandjar.com 8
moralnya. Dengan kata lain, segi budaya politik. Jika segi budaya politik telah dapat kita bangun
sesuai dengan amanat para pendiri republik ini, dengan kata lain sesuai dengan nilai-nilai, jiwa dan
semangat 45, yang lainnya dengan sendirinya akan mengikuti, apakah itu sistemnya, prosedurnya
atau mekanismenya. Karena sesungguhnya sistem pemerintahan negara itu sendiri sudah jelas
digariskan oleh UUD 45, tinggallah pelaksanaannya saja. Jadi, dalam melaksana kan sistem dan
mekanisme yang digariskan oleh UUD 45 itu, segi budaya menjadi sangat menonjol karena
menyangkut nilai-nilai. Di sini kita harus berbicara mengenai pembudayaan nilai-nilai dasar itu
sejak dini, dan dipraktekkan dengan keteladanan oleh para pemimpin masyarakat di semua lapisan
dan di segala bidang.
Penutup
Demikianlah sekedar sumbangan pikiran saya bagi Mubenas X Angkatan 45. Saya
harapkan masukkan dan arahan dari Ibu dan Bapak yang turut mendirikan republik ini, sehingga
mengenali lebih langsung dan lebih dekat dari pada saya apa yang menjadi cita-cita pada saat
republik tercinta ini dilahirkan.
Apa yang saya uraikan di atas adalah sekelumit saja, pokok-pokoknya saja, dari pemikiran
tentang pembangunan yang sedang dikembangkan oleh para penerus perjuangan Ibu dan Bapak.
Mudah-mudahan pemikiran itu sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita proklamasi. Mudahmudahan
kami-kami dari generasi penerus ini tidak mengecewakan para pendahulu kami yang
telah membuka jalan bagi kehidupan yang merdeka, yang makmur, dan berkeadilan.
Terima kasih, dirgahayu Angkatan 45. Semoga Ibu dan Bapak sekalian dikaruniai umur
panjang dalam keimanan dan ketaqwaan sehingga senantiasa berada dalam naungan ridho, taufik,
dan hidayah Allah SWT.

peritiwa dala bidang pedidikan

Apa yang paling anda butuhkan dalam kondisi saat ini ?
Tersedianya lapangan kerja
Peningkatan pendidikan keterampilan kewirausahaan secara gratis
Kemudahan mendapatkan modal usaha bagi pengusaha/pengrajin kecil








kanan bawah
:: Berita ::
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA

08 July 2003

Oleh : Haryono Suyono

Jakarta, KBI gemari
Minggu ini, para guru yang tergabung dalam organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengadakan Kongres yang ke XIX di Semarang. Dalam kesempatan itu, Presiden RI, Ibu Megawati Soekarnoputri, menyempatkan datang untuk memberikan sambutannya. Peritiwa itu secara kebetulan bersamaan dengan peringatan Hari Kependudukan Dunia, 11 Juli 2003, yang diselenggarakan oleh seluruh umat manusia yang bercita-cita menempatkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan. Pada waktu yang sama juga sedang diselenggarakan Temu Akbar Pramuka, Raimuna, di Yogyakarta. Dan hari ini adalah bertepatan dengan peringatan Hari Koperasi yang memperingatkan kita semua bahwa perekonomian Indonesia harus dibangun dengan kerja keras dalam semangat gotong-royong penuh makna

Rentetan peristiwa itu mempunyai makna dan pesan yang sangat mendalam dan mengharukan. Indonesia harus segera dibebaskan dari kemelut multidemensi yang sangat mencekam dewasa ini. Dengan jumlah penduduk sangat melimpah, yang karena keberhasilan program KB berada dalam lingkungan keluarga yang potensial, harus kita galang, diajak bersatu padu dan bekerja keras. Dengan persatuan dan kerja keras, bangsa Indonesia mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk segera bangkit kembali. Dengan pertolongan guru yang tersebar di seluruh Indonesia, pembangunan penduduk, atau pembangunan manusia, dengan hak-hak asasi dan kewajibannya, bisa dilakukan dengan lebih gegap gempita.

Pembangunan manusia dan hak-hak asasi manusia mempunyai visi dan tujuan yang sama bahwa keduanya adalah untuk menjamin kebebasan, kesejahteraan dan kehormatan untuk semua orang dimanapun mereka berada. Pembangunan manusia sebagai suatu proses pengembangan kemampuan manusia – untuk mengembangkan pilihan dan kesempatan sehingga setiap orang dapat hidup sejahtera dan terhormat menjadi sangat relevan dalam konteks hak-hak azasi manusia yang menempatkan kehormatan pada harga diri manusia. Karena itu keduanya menjamin hal-hal sebagai berikut :

o Kebebasan dari diskriminasi – baik dalam hubungan dengan jender, ras, etnik, asal-usul kebangsaan atau agama;
o Kebebasan untuk memenuhi kebutuhan untuk suatu kehidupan yang sejahtera;
o Kebebasan untuk mengembangkan diri dengan potensi diri yang memadai;
o Kebebasan dari rasa takut;
o Kebebasan dari ketidakadilan;
o Kebebasan berpikir, berbicara serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan berorganisasi;
o Kebebasan untuk bekerja yang wajar tanpa eksploitasi.

Secara operasional, pengembangan manusia adalah suatu proses yang memungkinkan setiap individu bisa memenuhi pilihannya dengan bijaksana karena sebagai manusia bisa berfungsi dan mempunyai kemampuan yang lebih baik. Karena itu pengembangan manusia harus diterjemahkan sebagai upaya memperbaiki fungsi dan kemampuan manusia. Dengan demikian pengembangan manusia adalah sesungguhnya menghantar setiap individu untuk bisa hidup lebih sehat, lebih lama, lebih profesional, lebih sejahtera dan terhormat.

Disamping itu pengembangan manusia harus juga disikapi dengan komitmen membuka kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, keamanan, hidup lebih lestari, yang dengan sendirinya terjamin hak-hak asasinya untuk bisa hidup dengan penuh prakarsa, produktif, bisa menikmati kehormatan pribadi serta diakui oleh masyarakatnya dalam kesejukan. Komitmen itu harus membuka kemungkinan pengembangan manusia sebagai suatu proses pengembangan dari manusia, untuk manusia dan oleh manusia.

Alasannya sederhana, ketidakmampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya menyebabkan seseorang tersebut tidak bisa memenuhi keinginannya untuk hidup sehat lebih lama, lebih mampu dan dengan sendirinya menghilangkan kebebasan dan kesempatannya untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu kemiskinan menghilangkan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian upaya yang jelas-jelas diarahkan untuk pengembangan manusia akan meniadakan kekurangan-kekurangan itu sehingga seseorang akan mampu menikmati hak-hak asasinya dengan baik.

Dalam suasana seperti itu, lebih-lebih dalam suasana untuk bisa ikut serta menyelesaikan kemelut multidemensi yang sangat menggelisahkan, pimpinan sekolah, guru dan masyarakat sekitar sekolah mendapat kesempatan untuk membawa anak didik dan masyarakatnya maju bersama-sama sehingga jarak antara keduanya makin menyempit. Kalau langkah itu yang ditempuh maka sekolah harus bisa menjadi pusat pertumbuhan sosial, ekonomi dan budaya bangsa. Cita-cita itu dapat diwujudkan apabila mendapat dukungan politik, baik dari dalam negeri maupun dukungan internasional dalam era globalisasi yang sangat dinamik dewasa ini.

Cita-cita itu makin bermakna dengan dikembangkannya otonomi daerah, dimana kepemimpinan dan perencanaan serta pengelolaan pembangunan menjadi sangat dekat dengan sasarannya. Dalam alam otonomi daerah itu terbuka kesempatan mengembangkan kebijaksanaan pembangunan yang reformatif. Proses pembangunan yang biasanya sentralistik dapat disempurnakan menjadi suatu proses yang desentralistik dengan menempatkan manusia dan keluarga sebagai titik sentral pembangunan. Penempatan manusia sebagai titik sentral pembangunan tersebut memungkinkan adanya kesempatan menempatkan manusia dan keluarga sebagai obyek yang sekaligus dikembangkan menjadi subyek pembangunan. Proses ini sekaligus dapat dilakukan dengan menyempurnakan pendekatan yang lebih manusiawi didasarkan atas pengertian dan paradigma pengembangan manusia dan hak-hak asasinya.

Untuk itu kita harus sepakat dan memberikan komitmen politik yang tinggi agar penduduk menjadi titik sentral pembangunan. Setiap penduduk dapat diberdayakan sesuai dengan aspirasi dan cita-citanya menjadi kekuatan pembangunan yang bermoral, bermutu dan mampu sehingga mempunyai pilihan yang beragam dan karenanya dapat mencapai cita-citanya secara demokratis.

Sebagai langkah awal, guru yang selama ini terkenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, perlu mendapat perhatian dan dukungan yang memadai agar bisa memberikan dukungan pemberdayaan yang cocok dengan aspirasi setiap anak didiknya, lingkungan setempat, tantangan jaman dengan ragam globalisasinya, serta kesempatan yang terbuka. Dengan perhatian dan dukungan itu, guru masa depan harus mampu ikut serta memberikan pembekalan sesuai dengan tuntutan jaman dan bahkan memberikan pembekalan mendahului tantangan jamannya. Guru tidak bisa lagi mengulang pelajaran yang sama dari tahun ke tahun, tetapi harus berorientasi masa depan dan lebih ke depan lagi karena mereka harus membantu anak didiknya mendahului jamannya. Karena itu pemberdayaan sumber daya manusia harus dimulai dari pemberdayaan dan dukungan yang memadai untuk para guru.

Pada tingkat pertama guru harus mendapat dukungan untuk menjadi tenaga pendidik yang profesional. Secara reguler para guru harus kembali ke ruang kelas atau ruang kuliah untuk mendapat penyegaran dalam bidang ilmu dan ketrampilan untuk menyegarkan ilmu dan pengetahuannya. Kemampuan guru yang tinggi atas ilmu dan pengetahuan itu memungkinkan setiap guru bisa menjadi pengantar pemberdayaan yang terpercaya dari para siswanya. Pendidikan dan pengajaran jaman kini kiranya berbeda dengan masa lalu karena para guru harus bisa menciptakan suasana yang kondusif untuk pengembangan prakarsa dan dinamika agar setiap siswa didik bisa menjadi manusia berbudi pekerti luhur, unggul dan sanggup bersaing dalam alam global yang penuh tantangan dan kesempatan.

Guru harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi serta sanggup bergaul dengan masyarakat secara terhormat. Karena itu kesejahteraannya harus mendapat perhatian yang wajar agar rasa percaya diri itu dapat tumbuh dan mendorong kemampuan untuk memperluas pergaulan diantara masyarakat nasional dan global secara terhormat. Dengan menjadikan guru dan sekolah sebagai pusat pengembangan sosial budaya masyarakat maka guru akan mempunyai peran ganda, menjadi guru untuk anak-anak didiknya, serta sekaligus menjadi sahabat untuk para orang tua dan masyarakat pada umumnya. Konsekwensinya sekolah dan guru harus menjadi pusat-pusat pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

Agar bisa sampai ke posisi tersebut dengan mulus, setiap sekolah secara bertahap harus dilengkapi dengan sarana yang memadai. Sarana utama yang diperlukan adalah untuk menjadikan gugus sekolah sebagai pusat pengembangan anak didik siap mandiri. Sekolah harus menjadi prototip dari usaha dagang, usaha industri, dan usaha ekonomi produktif yang kiranya bisa diikuti dengan mudah oleh anak didik di masa depan. Untuk usaha yang lebih luas, sekolah harus membina kemitraan dengan usaha dagang, usaha industri dan usaha produktip lain di masyarakat luas agar memungkinkan anak didik ikut magang dalam usaha-usaha yang berhasil.

Dengan cara itu setiap anak didik mendapat dukungan proses pemberdayaan sejak dini dan dalam pertumbuhannya mendapat kesempatan mengikuti perkembangan kultur dunia usaha secara langsung. Partisipasi langsung seperti itu akan lebih bermakna dibandingkan dengan pelajaran teori yang berkepanjangan tanpa contoh konkrit yang jelas dan mudah ditiru.

Sekolah dan sekitarnya akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang marak. Anak didik dan gurunya akan bergaul dengan masyarakat yang kegiatan ekonominya sangat tinggi, sehingga suasana sekolah seperti suasana pendidikan ketrampilan dalam bidang ilmu, tehnologi dan praktek langsung di lapangan yang tidak jauh dari sekolahnya. Penduduk desa di sekitarnya, yang karena sesuatu hal mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah, dengan anak-anaknya, akan mendapat stimulus yang luar biasa karena setiap hari bergaul dengan murid dan guru serta semangat yang tinggi untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan aplikasinya yang praktis di lapangan.

Semangat ini harus dibarengi dengan rangsangan untuk mengembangkan pendidikan anak usia dini dengan baik. Kalau pada waktu ini baru sekitar 7 – 8 persen anak usia dini mengikuti pendidikan di sekolah, maka dengan adanya rangsangan dari kakak-kakaknya, diharapkan anak-anak usia dini itu akan segera tertarik untuk ikut bersekolah. Lebih dari itu, masyarakat yang makin sibuk dengan usaha ekonomi produktif akan makin mau dan rela melepaskan anak-anaknya sejak usia dibawah lima tahun untuk bersekolah. Pada usia inilah kemampuan intelektual dapat dikembangkan dengan baik. Pada usia inilah spontanitas dan kemampuan pengembangan prakarsa dapat dirangsang dan dikembangkan dengan baik. Lebih dari itu para orang tua akan makin menghargai dan merelakan anak-anaknya untuk bersekolah setinggi-tingginya.

Pada tahap berikutnya, para guru dan sekolah harus bersama-sama masyarakat mengembangkan jaringan yang lebih luas jangkauannya. Pengembangan jaringan yang lebih luas ini memungkinkan setiap sekolah dengan seluruh “civitas akademisnya” mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha. Sekolah dan masyarakat dapat mengembangkan kegiatan ekonomi koperasi yang dinamis. Sekolah tidak saja menjadi pusat pengembangan yang dibiayai oleh pemerintah atau yayasannya, dalam hal sekolah swasta, tetapi mendapat dukungan dari dunia usaha berupa dana abadi untuk peningkatan mutu pendidikan pengajaran dan kesejahteraan guru serta seluruh aparat lainnya.

Dengan berbagai macam pengembangan pemberdayaan anak didik seperti itu, maka guru, pahlawan tanpa tanda jasa, harus mendapat perhatian ganda. Guru harus mendapat dukungan peningkatan kemampuan intelektualnya, sekaligus mendapat perhatian peningkatan kesejahteraannya. Tanpa dukungan pemberdayaan ganda itu niscaya sumber daya manusia yang melimpah jumlahnya di tanah air ini, tidak akan ada manfaatnya. Bagi Indonesia, peningkatan anggaran untuk bidang pendidikan, yaitu untuk sekolah, peralatan, guru dan pemberdayaan masyarakat, bukan 20 persen, tetapi 50 – 60 persen, dan harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat luas. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-PGRI-12Juli2003()

qA1/B2/D1

Berita Sebelumnya :

Senin, 09 Juni 2008

perenialisme/Perennialism

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsi-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.

Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.

PANDANGAN TENTANG PENDIDIKAN

Teori pendidikan dilatarbelakangi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina, antara lain:

o Plato

Menurut Plato, manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai norma dengan menggunakan akal atau ratio. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normatif dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip idea mutlak, yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan yang membimbing manusia untuk menemukan kriteria moral, politik, dan sosial serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan.

o Aristoteles

Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal.
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa “kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir”.

o Thomas Aquines

Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugas untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata.

Perennialism juga berpandangan terhadap pengertian kurikulum. Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence". Definisi kurikulum oleh kelompok perennialism hanya memusatkan perhatian pada fungsi ”transfer” dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi.

Perennialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional. Belajar menurut perennialisme adalah latihan mental dan disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah ber­da­sarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah rasio­nalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus.

Essensialisme/Essentialism

Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.

Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghen­daki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essen­sial dan bersifat menuntun.

Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of intellect".

Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi (Muhaimin, 2003: 41).

Progresivism

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru.

Progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan seharusnya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan.

Menurut Muhaimin, konsep dasar filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman. Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).

Progressifime mempunyai konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.

Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mem­punyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progress).

Oleh karena itu, kemajuan (progress) ini menjadi perhatian kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menum­buhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.

Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.

Beberapa tokoh dalam aliran ini : John Dewey, Carl Rogers, Abraham Maslow, Ivan Illich, George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.


Konstruktivisme/konstruktivism

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

  1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
  2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
  3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
  4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
  5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu.

Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa pe­nge­tahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia mengkons­truksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan meme­cahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum konstruktivisme, penge­tahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.

Rabu, 26 Maret 2008

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG
STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka perluasan akses sosialisasi Standar Isi dan
Standar Kompetensi Lulusan, perlu mengubah Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
96
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22
TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal I
Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah diubah sebagai berikut.
1. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(4) Satuan pendidikan dapat mengadopsi atau mengadaptasi model
kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional bersama unit utama terkait.
2. Ketentuan dalam Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah, dan model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
97
menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan
secara nasional;
b. melakukan bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum
yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
c. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Februari 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2006
TENTANG
STANDAR ISI
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat
(3), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2),
dan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
2
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor
0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006 dan Nomor
0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang
selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan
tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan
minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
(2) Standar Isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada
Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2006
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO