Senin, 07 Juli 2008

PENGENALAN NILAI BUDAYA, TATA KRAMA DAN ETIKA KEILMUAN

PENGENALAN NILAI BUDAYA, TATA KRAMA DAN ETIKA KEILMUAN

(disampaikan pada kegiatan orientasi pengenalan pendidikan (OPDIK)
mahasiswa baru fasilkom unsri tahun akademik 2007-2008)
Tujuan
Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman mahasiswa akan:
a. kebudayaan, nilai dan etika
b. kebudayaan kampus perguruan tinggi dan etika keilmuan
c. aturan-aturan yang berlaku di perguruan tinggi yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban mahasiwa.
Dari republika online dikutip dua penyataan penting8):
Menurut Penemu ESQ, Ary ginanjar, ”mahasiswa memiliki posisi dan peran strategis.
Jika ingin mengubah bangsa ini, maka, Kita harus mengubah mahasiswa terlebih dulu.
Karena mereka adalah agen perubahan”.
Pernyataan ini didukung oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Prof
Mohammad Nuh. ”......karena perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan formal
terakhir yang harus ditempuh sebelum terjun ke masyarakat. Kalau perguruan tinggi
keliru dalam mendidik mahasiwa, maka akan kelirulah masyarakatnya”.
Kebudayaan lokal dan global, nilai dan etika
Pengamat pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad mengungkapkan kepada Kompas di
Jakarta, Senin (18/9).filosofi pendidikannya sudah jelas bahwa pendidikan itu harus
mampu membangun peradaban yang dapat memanusiakan manusia2).
Landasan filosofi pendidikan adalah undang-undang, GBHN, dan Pancasila. Oleh
karena itu, pendidikan harus dikembalikan pada kedudukannya sebagai satu usaha
memanusiakan manusia. Selama ini sekolah tidak pernah ditujukan sebagai pusat
penumbuhan budaya. Tidak heran kalau pendidikan kita tidak dapat mengindonesiakan
anak bangsa, sehingga banyak muncul perpecahan yang merupakan akibat dari
kegagalan pendidikan di Indonesia2).
Apa yang menjadi hakikat pendidikan? Hakikat pendidikan dalam konteks Indonesia,
bahwa pendidikan itu harus merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan
yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa. Itu sudah runtuh, padahal sebelumnya
dikatakan landasan pendidikan dan budaya kita sudah kuat. Tetapi ternyata ketika
krisis kita baru tahu bahwa itu ambruk. Inilah realitas baru yang seharusnya menjadi
landasan membangun peradaban2).
Penguasaan bahasa dapat menunjukkan tingkat peradaban dan tingkat budaya
manusia. Mendiknas Yahya A Muhaimin pada Seminar Nasional X Himpunan Pembina
Bahasa Indonesia (HPBI), di Jakarta, Rabu (27/9) mengatakan ”Kalau bahasa yang
dipakai amburadul dan kasar”, demikian Mendiknas, ”orang lain dapat menganggap si
penuturnya sebagai orang yang tidak tahu unggah-ungguh (tata krama)”. "Labelisasi
seperti ini merupakan sanksi sosial yang berat, terutama dalam masyarakat Jawa,"
tambahnya3).
Selanjutnya Menurut Mendiknas, peran bahasa yang paling penting adalah sebagai alat
komunikasi. Dengan bahasa manusia akan mendapat kemudahan dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Penguasaan bahasa yang baik akan membantu dalam
mengungkapkan pikiran, sehingga maksudnya dapat dipahami3).
Etika merupakan dasar kemanusiaan - petunjuk dasar bagi tingkah laku, cara pikir dan
keyakinan. Tidak satu kelompok manusia pun yang hidup tanpa etika6).
Sesuatu hal dalam etika yang tidak kalah pentingnya dalam dunia perguruan tinggi
adalah etika berbusana. Kita sepakat bahwa mahasiswa adalah manusia dewasa sejak
dia menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, oleh karena itu mereka tidak lagi dipanggil
anak atau siswa tapi dipanggil dengan sapaan saudara atau maha-siswa. Dengan
demikian mereka sudah dianggap manusia dewasa. Tapi apakah orang dewasa itu
punya kebebasan sebebas-bebasnya, jawabnya adalah tidak, tetapi mereka punya
kebebasan yang dilembagakan. Sebagai contoh kebebasan dalam bebusana, sekalipun
2
bebas menentukan busana dan berpenampilan sendiri tetapi jangan melanggar etika
yang berlaku di masyarakat umum. Etika berbusana terdiri dari 8 hal yaitu5):
1. Mempergunakan busana yang tidak melanggar aturan, norma, kepatutan dalam
lingkungan dimana kita berada. (di kampus jangan mempergunakan pakaian
yang terbuka/terlihat aurat atau anggota tubuh yang seharusnya ditutupi).
2. Bisa mengikuti mode, tapi tetap harus sesuai acara, sesuai waktu, sesuai
tempat
3. Hindari menggunakan pakaian yang terlalu mencolok atau menarik perhatian
orang, terutama di tempat umum (misl, di kampus)
4. Hindari busana yang membuat anda sulit bergerak/melangkah
5. Hindari aksesoris yang menimbulkan bunyi-bunyi waktu anda bergerak
6. Hindari aksesoris yang menimbulkan bunyi-bunyi dan yang mudah tersangkut,
karena anda akan hilir mudik dipanggung dan belakang panggung serta
berdekatan dan bergesekan dengan orang lain.
7. Hindari sepatu yang tidak nyaman dan bersuara keras waktu melangkah
8. Pastikan busana anda sudah rapih, jangan membetulkan/ merapihkan
sembarangan.
Kultur perguruan tinggi dan etika keilmuan
Misi perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat yang dikenal dengan tridarma perguruan tinggi. Ketiga hal ini harus
dijalankan secara seimbang. Pertanyaannya, pedulikah kita untuk menciptakan kultur
akademik yang kondusif? Jika jawabannya “iya”, maka cerdaskanlah mahasiswa sejak
masa Orientasi Pengenalan Kampus setiap tahunnya.
Mahasiswa sedikit sekali memiliki budaya akademis, seperti kemampuan menulis.
Kebanyakan mereka justru meniru (baca: menyontek) makalah-makalah atau skripsi
orang dengan metode CS2 (Comot Sana-Comot Sini). Persoalan integritas akademik
(academic integrity) maupun kejujuran ilmiah (academic honesty) seakan bukan
merupakan konsideran penting. Sebagian mereka bahkan (mungkin) tidak memahami
betapa pentingnya kedua nilai tersebut Akibatnya jarang dijumpai paper-paper yang
orisinal dan berkualitas1).
....., seandainya sejak awal-awal masa mengarungi dunia perguruan tinggi mereka
sudah diperkenalkan atau diberikan pemantapan (karena sangat bisa jadi ada yang
sudah dikenalkan saat SLTA) dalam pemahaman metode penulisan karya ilmiah dan
metode penelitian dasar, bukan tidak mungkin akan lahir karya-karya ilmiah yang
berbobot dan layak jual (marketable). Lebih dari itu, mereka juga akan terbiasa untuk
meneliti, walaupun dalam artian penelitian yang sederhana1). Semua hal ini sangat
konstruktif untuk membangun budaya akademik yang kondusif di perguruan tinggi.
Sebelum menguraikan lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa itu sains dan etika.
Definisi dari sains diambil dari Oxford English Dictionary: “A branch of study which is
concerned with a connected body of demonstrated truths, orwith observed facts
systematically classified and more or less colligated by being brought under general
laws, and which includes trustworthy methods for the discovery of new truth within its
own domain”. Apa itu etika? Webster’s New Collegiate Dictionary mendefinikannya
sebagai berikut: “1 …the discipline dealing with what is good and bad and with moral
duty and obligation 2 a: a set of moral principles and values b: a theory or system of
moralvalues c: the principles of conduct governing an individual or a group.”7)
Dari definisi-definisi di atas kelihatan dengan jelas bahwa sains adalah alat untuk
mencari kebenaran. Dan dapat disadari untuk mencari kebenaran kita perlu strategi
yang beretika. Strategi disini adalah metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi
pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik
(scientific fraud)7).
Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi
fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Bagaimanapun,
definisi penipuan saintifik tidak selalu jelas. Salah satu aspek dari penipuan saintifik
adalah memanipulasi dan mengubah data. Pada tahun 1830, matematikawan dari
Inggris bernama Charles Babbage menerangkan teknik manipulasi data. Di dalamnya
termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan)
diharapkan)
3
dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga
membuat data lebih meyakinkan). Sains yang ideal adalah bahwa para ilmuwan
seharusnya objektif dan melaporkan semua hasil pengamatan secara lengkap dan
jujur. Bagaimanapun, ini tidak selalu ditemui dalam laporan-laporan ilmiah7).
Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain
dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah
dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Sebagai gambaran umum, di dalam
perkuliahan etika sains disamping diterangkan pentingnya etika sains juga diajarkan
bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika
etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka kita dapat menjawab
pertanyaan: Apakah aspek etika sains dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin,
bertanggung jawab dan sportif7).
Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki
dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang
berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya.
Bagaimanapun, mentalitas yang jujur mutlak diperlukan sebagai landasan untuk
mencapai kemajuan. Pengajaran etika sains kepada para mahasiswa sarjana, magister
dan doktor diharapkan dapat menambah kesadaran para mahasiswa bahwa para calon
sarjana, calon doktor dan calon professor harus menjunjung tinggi
kejujuran. Setidaknya hal ini dapat menjadi sumbangan kecil untuk perbaikan
masyarakat kita, yang sedang dihinggapi penyakit korupsi, plagiat, membeli gelar,
menyontek dan lain sebagainya. Inilah tugas berat para ilmuwan-ilmuwan Indonesia
yang menyadari pentingnya etika sains dalam pendidikan sains dan riset di
Indonesia7).
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir adalah
menggunakan akal budi dalam berbuat dan memutuskan sesuatu yang akan
dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan tubuh
manusia yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala
sebagai tempat bersemayamnya otak yang diyakini sebagai pencetus akal pikiran
manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali
kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau
komputer. Contoh aktual tentang hal ini adalah saat pelaksanaan UAN. Nilai yang
dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penentu dari lulus tidaknya
seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak dapat kita terima sebagai makhluk yang berpikir
dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun
terakhir, tanpa menilai kondisi siswa saat mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan,
dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan "congkaknya" menjadi penentu kelulusan
siswa yang sama sekali tak dikenalnya4). Berbeda dengan di perguruan tinggi dimana
penentuan kelulusan suatu mata kuliah ditentukan dari 4 parameter penilaian yaitu:
tugas, quis, ujian tengah semster, dan ujian akhir semester. Sedangkan untuk
penentu kelulusan mahasiswa memperoleh gelar sarjana yaitu ujian komprehensif atau
sidang sarjana yang diuji oleh tim penguji yang terdiri dari dua atau lebih dosen
penguji. Dimana pembimbing tugas akhir juga memiliki kontribusi dalam menentukan
nilai rata-rata hasil ujian tugas akhir tersebut. Hal inilah yang membedakan ilklim di
perguruan tinggi dan sekolah.
Perkembangan selanjutnya, manusia berpikir menjadi manusia ilmiah. Manusia ilmiah
masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat
untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa
yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu
pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul
tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh
karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam
berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan4).
Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan
yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi,
meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan
keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu
juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada
tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan
massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus. Dunia pendidikan adalah dunianya
4
masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia
pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan
perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan
amoral4).
Sebenarnya sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN. Oleh karena
itu, jika kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Tidak
dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri
penghargaan kepada seseorang karena memang dia pantas menerimanya sesuai
indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun jika seandainya orang tersebut adalah
"musuh" kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi
kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita
harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya
untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga
dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak
diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita
balas dengan kinerja yang lebih baik4).
Aspek pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran saja kepada mahasiswa tetapi
juga harus mencakup pembentukan sikap dan kepribadian, yang mana hal ini penting
dalam menghadapi krisis moral bangsa Indonesia.
Hadi Nur, dalam tulisannya yang berjudul etika sains dalam riset dan pendidikan tinggi
di Indonesia mengungkapkan:
”........ Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa riset dan
mengajar merupakan hal yang bersifat perkalian bukan pertambahan, salah satu
sifat utama yang melekat kepada seseorang yang digelari ilmuwan. Ini berarti
bahwa seseorang akan nol sebagai ilmuwan jika tidak melakukan riset. Dan juga
berarti akan nol sebagai ilmuwan jika tidak mengajar.”7)
Suatu pemikiran baru dalam ilmu pengetahuan yaitu eko-etika. Dasar-dasar etika kita
yang baru, berakar pada dasardasar kepentingan dinamika ekologis bagi kehidupan di
bumi, sehingga disebut eko-etika. Eko-etika berbeda dengan etika sejarah. Akar ekoetika
bukanlah wahyu, keyakinan ataupun filosofi, melainkan penelitian ilmiah,
pengetahuan dan keserasian antara alam dan manusia. Subyek eko-etika bukanlah
satu spesies tetapi berbagai komunitas yang keberadaannya saling tergantung.
Wawasan kita yang selalu bertambah, menguak jalan menuju ke kehidupan manusia
masa depan6).
Masyarakat eko-etika bertujuan membangun suatu kondisi yang diibaratkan
membangun lingkungan masyarakat seperti membangun sebuah rumaha. Suatu
rumah yang berlandaskan cinta pada alam, menghargai alam, dan menambah
pengetahuan tentang pola dan pengaturan alam yang sebenarnya6).
Pada dasarnya manusia yang menganut etika tradisional tidak mau menerima
perubahan, mereka tetap mempertahankan aturan atau etika yang telah berlaku turun
temurun di masyarakatnya. Sedangkan manusia yang menganut eko-etika, mereka
akan menerima aturan baru yang berlaku secara dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman dan dilandasi keseimbangan dan ilmu pengetahuan. Perubahan
ini seperti air yang mengalir, yaitu tidak statis.
Aturan-aturan di perguruan tinggi dan hak serta kewajiban mahasiswa
para mahasiswa/i baru itu juga harus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan
akademik, misalnya sistem perkuliahan, cara menulis makalah (paper), pengenalan
metodologi penelitian dasar, sistem hubungan mahasiswa dengan penasehat akademik
dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka semestinya juga diberikan pengetahuan
mengenai hak-hak dan kewajiban mereka selaku mahasiswa. Sehingga mereka
mengetahui apa-apa saja aturan main yang digariskan perguruan tinggi pilihannya.
Kalaupun hak mereka dilanggar, mereka mengetahui bagaimana cara menuntutnya1).

Tidak ada komentar: